Sama halnya seperti kita yang selalu berusaha mencari dan merangkai kata menjadi kalimat-kalimat yang mewakili ide, gagasan, pikiran, maupun perasaan kepada orang lain, seorang penyair pun berusaha mencurahkan isi batin dan jiwanya setepat-tepatnya melalui kata. Bedanya seorang penyair berusaha mengekspresikan gejolak maupun pengalaman hidupnya secara padat dan intens. Karena itulah dikenal pula istilah diksi puitis. Menurut Barifield (Pradopo,2005:54) diksi puitis itu apabila kata-kata yang dipilih dan disusun akan menimbulkan imajinasi estetis, maka nilai kepuitisan pun didapat.
Sekarang kita akan mencoba mengamati dan ”menggauli”diksi sebuah puisi. Puisi kali ini adalah karya dari W.S. Rendra. Karya-karyanya banyak menggunakan bahasa yang sering kita jumpai pada percakapan sehari-hari, namun tidak mengurangi nilai estetisnya. Penggunaan citraan pun menjadi salah satu kekuatan sebagian besar karya-karyanya. Seperti puisi yang berjudul Episode berikut.
Episode
Kami duduk berdua
di bangku halaman rumahnya.
Pohon jambu di halaman rumah itu
berbuah dengan lebatnya
dan kami senang memandangnya.
Angin yang lewat
memainkan daun yang berguguran.
Tiba-tiba ia bertanya:
”Mengapa sebuah kancing bajumu
lepas terbuka?”
Aku hanya tertawa.
Lalu ia sematkan dengan mesra
sebuah peniti menutup bajuku.
Sementara itu
aku bersihkan
guguran bunga jambu
yang mengotori rambutnya.
Sepintas, puisi tersebut sangat sederhana bukan? Bahasa yang digunakan biasa kita gunakan sehari-hari. Eit....s jangan salah, meskipun demikian, coba kita amati beberapa kata dalam puisi tersebut. Kata lebat,memandangnya,memainkan, berguguran,sematkan, dan guguran. Kata-kata tersebut dipilih dengan begitu cermat sehingga nilai estetis dan kepuitisannya pun begitu terasa. Kata lebat bisa saja diganti kata banyak, tapi coba bagaimana kamu merasakan kalimat itu jadinya. Kata memandangnya dapat diganti dengan kata sejenis yang menunjukkan aktivitas menggunakan indera penglihatan, seperti meliriknya, melihatnya, memperhatikannya, atau mengintipnya. Tapi tidak dipilih dalam puisi ini. Kamu pasti tahu mengapa. Kata berguguran sebenarnya sama dengan rontok, atau jatuh, penyair memilih kata berguguran sebab nilai puitis lebih padanya. Kata sematkan juga sudah sangat pas, meski ada kata pasangkan, tempelkan, yang memiliki kemiripan. Demikian dengan kata guguran, akan menjadi berkurang nilai estetis dan kepuitisannya, mana kala yang dipilih adalah kata rontokan. Sudahkah kita pandai memilih dan menggunakan daya guna sebuah kata?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar